Pernahkah Anda menangis? Saya rasa hampir setiap orang pernah mengalaminya. Air mata itu bisa jadi muncul saat kita ditinggalkan oleh orang-orang yang kita kasihi. Bisa jadi salah satu orang tua yang kita cintai apalagi jika keduanya meninggalkan kita selamanya. Atau mungkin suatu ketika saat pasangan kita, suami atau istri kita melangkah pergi menjauhi kita baik itu sementara atau bahkan untuk selamanya.
Tak jarang air mata itu muncul ketika kata dan sikap orang–orang di sekeliling kita menyemaikan dan menumbuhkan luka dalam hati kita. Air mata bisa jadi menetes di sudut mata kita saat menyusuri jalan yang biasa kita lewati kita temui peminta-minta tua, anak yang menengadahkan tangan saat jam-jam di mana ia seharusnya sekolah dan sosok apapun yang menerbitkan rasa iba dalam hati kita.
Tak jarang air mata itu muncul ketika kata dan sikap orang–orang di sekeliling kita menyemaikan dan menumbuhkan luka dalam hati kita. Air mata bisa jadi menetes di sudut mata kita saat menyusuri jalan yang biasa kita lewati kita temui peminta-minta tua, anak yang menengadahkan tangan saat jam-jam di mana ia seharusnya sekolah dan sosok apapun yang menerbitkan rasa iba dalam hati kita.
Tapi jangan salah, terkadang tanpa diundang pun air mata datang saat kita memperoleh kebahagiaan. Saat ijab qabul diucapkan. Saat seorang bayi dilahirkan. Saat wisuda kelulusan. Atau mungkin saat kita mendapat hadiah yang paling kita inginkan. Demikianlah, kesedihan dan kebahagiaan keduanya mampu menghadirkan air mata. Silih berganti.
Tapi pernahkah air mata kita menetes hanya karena menatap seseorang? Sedangkan orang tersebut bukan orang tua, suami atau istri kita. Bukan pula peminta-minta atau gelangangan yang biasa mendatangkan iba. Apalagi artis idola kita. Seorang yang mungkin tidak pernah kenal dekat. Seorang yang tangannya tak pernah kita jabat. Seseorang yang mungkin hanya bisa kita lihat dalam jarak pandang yang begitu jauh.
Itulah yang terjadi pada saya. Malam di mana jari ini saya jentikkan untuk mengetik tulisan saya ini. Entah ini sudah bilangan yang keberapa saya putar kembali video pidato “Sang Presiden Baru” yang saya simpan. Saya yakin Anda semua paham siapa yang saya maksud. Ada dua sosok yang selalu bisa dipastikan langsung menerbitkan air mata saya. Sang Presiden Baru yang penuh cinta itu dan seorang sosok lagi yang selalu ia cintai. Sosok yang selalu ia sebut dan sampaikan salam cintanya setiap kali Sang Presiden Baru melakukan kunjungan konsolidasi ke penjuru Nusantara. Sosok santun dan ramah yang membuat lidahnya tercekat sesaat saat orasinya yang pertama. Sosok santun dan ramah yang hampir selalu membuat rona wajahnya berubah. Entah Saat detik di mana kawan seiringnya itu direnggut pergi secara paksa hari Rabu kelabu itu atau bahkan ketika nama dan wajah sang kawan disebut dan ditayang kan kembali di media yang ia datangi. Setidaknya itu yang bisa saya raba saat video-video beliau diputar di depan mata. Dua sosok itulah yang tanpa saya sadar belakangan ini menggetarkan jiwa saya. Dan spontan mengalirkan air mata dan menggerakkan bibir saya untuk mengucap doa. Doa yang terindah.
Tak hanya mereka berdua. Ada seorang lagi. Di sebuah organisasi yang saya geluti, seorang pimpinan yang saya hormati. Ia seorang lelaki dan sudah beristri. Ia seorang yang kalem, sabar dan berusaha penuh tanggung jawab untuk menggerakkan roda organisasi. Hidupnya bisa dibilang tak mudah. Kuliah, kerja dan keluarga. Semuanya harus ia jalankan dengan sempurna. Hingga sore itu, mendung di langit menggantung begitu kelabu dan hujan meluncur tanpa harus ditunggu. Deras dan makin deras. Dan saya tahu itu juga yang terjadi dalam kalbu, miliknya. Tapi Subhanallah... begitu ceria dan luwes ia memimpin rapat kala itu seakan tak terjadi apapun. Di akhir rapat beliau dan kami, rekan kerjanya saling memberi semangat. Ukhuwah terasa begitu erat. Pada sang istri yang juga sahabat saya yang sejati, saya mengatakan “Saya kagum... saya terharu... Seandainya ia seorang muslimah, pasti ia sudah saya peluk sepenuh jiwa.” Selanjutnya, airmata pun mengalir tanpa bisa ditunda.Sejak hari itu hati dan mata saya selalu berembun setiap kali bertemu dengan beliau. Sebab semangat menatap hidup dengan anggun yang sudah beliau tularkan pada saya.
Yang selanjutnya, salah satu rekan senior saya di tempat kerja. Ia seorang wanita matang, dinamis dan dengan wajah penuh cahaya. Saat menasehati tidak pernah sekalipun bersilat lidah. Selalu jujur dan tulus apa adanya. Saat hari dan hati saya diliputi gundah sebab penuh masalah, tidur di pangkuannya menjadi obat mujarab bagi saya. Ya. Hanya tidur saja. Tanpa curhat yang banyak kata. Cukup memejamkan mata sekadarnya. Sedikit air mata. Kemudian, Ajaib... segala gundah dan kesedihan saya menguap seketika. Semangat baru pun langsung memenuhi rongga dada. Beliaulah Murobbiyah… .”Ibu dalam dakwah “ yang saya cinta sepenuh jiwa. Cinta karena Allah semata. Tak jarang, tanpa beliau sadari saya pandangi wajahnya saat saya butuh mengundang semangat agar datang. Dan ajaib… yang saya harapkan pun hadir. Semangat yang menggelora. Dan air mata haru pun mengiringi.
Semua sosok yang saya ceritakan itu bukan keluarga. Antara saya dan mereka tidak ada ikatan darah. Tapi mengapa...?? Mengapa ada air mata...?? Begitu aneh mungkin orang memandang. Tapi inilah kami. Sebab kami percaya ikatan aqidah itu lebih kental dari pada ikatan darah. Jalinan “aneh.” Demikian Helvy Tiana Rosa menyebutnya dalam bukunya Risalah Cinta, tentang apa yang kami alami ini. Jalinan “aneh” yang hadir dalam hati-hati kami sejak kami mengenal satu kata suci yakni “dakwah.” Jalinan “aneh” yang membuat kami saling terikat. Jalinan “aneh” yang membuat kami saling memberi. Tak hanya air mata dan doa. Jalinan “aneh” yang kami harap akan abadi hinggajannah-Nya. [Kembang Pelangi]
Tapi pernahkah air mata kita menetes hanya karena menatap seseorang? Sedangkan orang tersebut bukan orang tua, suami atau istri kita. Bukan pula peminta-minta atau gelangangan yang biasa mendatangkan iba. Apalagi artis idola kita. Seorang yang mungkin tidak pernah kenal dekat. Seorang yang tangannya tak pernah kita jabat. Seseorang yang mungkin hanya bisa kita lihat dalam jarak pandang yang begitu jauh.
Itulah yang terjadi pada saya. Malam di mana jari ini saya jentikkan untuk mengetik tulisan saya ini. Entah ini sudah bilangan yang keberapa saya putar kembali video pidato “Sang Presiden Baru” yang saya simpan. Saya yakin Anda semua paham siapa yang saya maksud. Ada dua sosok yang selalu bisa dipastikan langsung menerbitkan air mata saya. Sang Presiden Baru yang penuh cinta itu dan seorang sosok lagi yang selalu ia cintai. Sosok yang selalu ia sebut dan sampaikan salam cintanya setiap kali Sang Presiden Baru melakukan kunjungan konsolidasi ke penjuru Nusantara. Sosok santun dan ramah yang membuat lidahnya tercekat sesaat saat orasinya yang pertama. Sosok santun dan ramah yang hampir selalu membuat rona wajahnya berubah. Entah Saat detik di mana kawan seiringnya itu direnggut pergi secara paksa hari Rabu kelabu itu atau bahkan ketika nama dan wajah sang kawan disebut dan ditayang kan kembali di media yang ia datangi. Setidaknya itu yang bisa saya raba saat video-video beliau diputar di depan mata. Dua sosok itulah yang tanpa saya sadar belakangan ini menggetarkan jiwa saya. Dan spontan mengalirkan air mata dan menggerakkan bibir saya untuk mengucap doa. Doa yang terindah.
Tak hanya mereka berdua. Ada seorang lagi. Di sebuah organisasi yang saya geluti, seorang pimpinan yang saya hormati. Ia seorang lelaki dan sudah beristri. Ia seorang yang kalem, sabar dan berusaha penuh tanggung jawab untuk menggerakkan roda organisasi. Hidupnya bisa dibilang tak mudah. Kuliah, kerja dan keluarga. Semuanya harus ia jalankan dengan sempurna. Hingga sore itu, mendung di langit menggantung begitu kelabu dan hujan meluncur tanpa harus ditunggu. Deras dan makin deras. Dan saya tahu itu juga yang terjadi dalam kalbu, miliknya. Tapi Subhanallah... begitu ceria dan luwes ia memimpin rapat kala itu seakan tak terjadi apapun. Di akhir rapat beliau dan kami, rekan kerjanya saling memberi semangat. Ukhuwah terasa begitu erat. Pada sang istri yang juga sahabat saya yang sejati, saya mengatakan “Saya kagum... saya terharu... Seandainya ia seorang muslimah, pasti ia sudah saya peluk sepenuh jiwa.” Selanjutnya, airmata pun mengalir tanpa bisa ditunda.Sejak hari itu hati dan mata saya selalu berembun setiap kali bertemu dengan beliau. Sebab semangat menatap hidup dengan anggun yang sudah beliau tularkan pada saya.
Yang selanjutnya, salah satu rekan senior saya di tempat kerja. Ia seorang wanita matang, dinamis dan dengan wajah penuh cahaya. Saat menasehati tidak pernah sekalipun bersilat lidah. Selalu jujur dan tulus apa adanya. Saat hari dan hati saya diliputi gundah sebab penuh masalah, tidur di pangkuannya menjadi obat mujarab bagi saya. Ya. Hanya tidur saja. Tanpa curhat yang banyak kata. Cukup memejamkan mata sekadarnya. Sedikit air mata. Kemudian, Ajaib... segala gundah dan kesedihan saya menguap seketika. Semangat baru pun langsung memenuhi rongga dada. Beliaulah Murobbiyah… .”Ibu dalam dakwah “ yang saya cinta sepenuh jiwa. Cinta karena Allah semata. Tak jarang, tanpa beliau sadari saya pandangi wajahnya saat saya butuh mengundang semangat agar datang. Dan ajaib… yang saya harapkan pun hadir. Semangat yang menggelora. Dan air mata haru pun mengiringi.
Semua sosok yang saya ceritakan itu bukan keluarga. Antara saya dan mereka tidak ada ikatan darah. Tapi mengapa...?? Mengapa ada air mata...?? Begitu aneh mungkin orang memandang. Tapi inilah kami. Sebab kami percaya ikatan aqidah itu lebih kental dari pada ikatan darah. Jalinan “aneh.” Demikian Helvy Tiana Rosa menyebutnya dalam bukunya Risalah Cinta, tentang apa yang kami alami ini. Jalinan “aneh” yang hadir dalam hati-hati kami sejak kami mengenal satu kata suci yakni “dakwah.” Jalinan “aneh” yang membuat kami saling terikat. Jalinan “aneh” yang membuat kami saling memberi. Tak hanya air mata dan doa. Jalinan “aneh” yang kami harap akan abadi hinggajannah-Nya. [Kembang Pelangi]
No comments:
Post a Comment